4/13/2009
Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Oleh Dr. Mushthafa as Siba`i
Disiarkan pada hari Jum`at : 5 Ramadhan 1374 (7 Maret 1954)
Apakah manusia adalah sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia adalah sosok yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya dan mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri?
Ini adalah kajian yang menghabiskan banyak lembaran kajian psikologi, ilmu akhlak dan sosiologi. Kebanyakan pakar ilmu pengetahuan hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan mementingkan dirinya sendiri, dan ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya sendiri. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh lagi, bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang adalah tidak lebih dari suatu bentuk egoisme yang dibungkus dengan topeng. Orang yang mengorbankan dirinya dalam medan perjuangan untuk membela aqidahnya atau mempertahankan negaranya, ia melakukan hal itu untuk mendapatkan pahala Allah atau pujian manusia, atau juga kehormatan negeri yang ia tempati sehingga ia dapat mengambil manfaat dari kehormatan negeri tersebut. Namun demikian, di samping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan hal itu pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasamanya dengan mereka itu ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia. Jika Anda tidak membatasi kebebasan Anda saat berkendaraan di jalan raya dengan rambu-rambu jalan, niscaya Anda tidak akan dapat berkendaraan di jalan dengan aman, baik bagi jiwa Anda maupun bagi tubuh Anda. Jika Anda tidak membatasi perilaku Anda dalam bermu`amalah, dan menahan tangan Anda dari harta manusia, nisacya Anda tidak akan dapat menjamin keuntungan dan keamanan atas harta dan kekayaan Anda. Oleh karena itu, semangat undang-undang adalah dari satu segi untuk menjamin hak individu, dan dari segi lain untuk membatasi kebebasannya. Tunduk kepada undang-undang ini adalah suatu bentuk pendahuluan kepentingan orang lain dan pengorbanan. Dalam pandangan syari`ah, ia mungkin tidak mendapatkan pahala, dan dalam pandangan ahli etika dan moral ia barangkali tidak layak mendapatkan pujian, namun demikian hal itu adalah jaminan bagi keberaturan hidup dalam masyarakat yang mulia dan bahagia.
Sedangkan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri Anda yang lebih dari itu, inilah yang dipuji oleh syari`ah dan oleh prinsip-prinsip akhlak. Ia adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain yang berdasarkan kesadaran pribadi, bukan karena paksaan undang-undang. Dan tidak didorong oleh kepentingan duniawi atau kenikmatan yang instan. Malah dalam tindakannya itu ia memilih untuk tidak mendapatkan daripada mendapatkan kesenangan pribadi, memilih payah daripada santai, memilih lapar daripada kenyang, dan memilih mati daripada hidup. Keindahan pengorbanannya itu tidak dirusak oleh keinginan untuk mendapatkan pahala atau pujian, karena pahala dan pujian itu adalah suatu perkara maknawi yang diharapkan dari alam ghaib. Siapa yang memberikan sesuatu manfaat material kepada manusia dengan harapan mendapatkan balasan maknawi, maka ia berarti telah memberikan suatu bukti bagi jiwa yang lebih banyak memberi dibandingkan mengambil. Sungguh, hal ini adalah kemuliaan dan ketinggian yang paling utama dan petunjuk kebaikan dan keutamaan yang paling kuat.
Kita berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang dalam menikmati fasilitas listrik, mobil, kapal terbang dan radio terhadap para ilmuan jenius yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam laboratorium dan rumah mereka dan terus meneliti siang malam hingga mereka dapat memberikan kepada manusia hasil dari kerja keras dan penderitaan yang mereka tanggung. Berupa kenikmatan, pengetahuan, dan kesehatan yang dinikmati oleh milyaran manusia di Timur dan Barat.
Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan itu:
Aku bergadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan,
lebih ni`mat bagiku
Dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang
dengan wanita yang cantik
Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan
Lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat
Kita berhutang budi dalam memanfaatkan tanah negeri kita, hasilnya, dan lembaga-lembaga sosialnya, terhadap orang-orang tua kita yang telah mengolahnya dengan usaha dan jerih payah mereka, serta mereka tebus dengan darah dan arwah mereka, sehingga negeri ini sampai kepada kita dalam keadaan mulia dan bermartabat.
Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama kita yang kita banggakan ini, dan yang kita terus bicarakan tentang ni`mat Allah SWT kepada kita atas hidayah dan ajaran etika-Nya yang dianugerahkan kepada kita melalui agama ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam membawa risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan darah dan arwah mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini. Para syuhada Masihiah di tiga abad pertama dari kelahiran Al Masih a.s adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh penganut Masihi yang merasakan kelezatan tunduk kepada Al Masih dan ajaran-ajarannya. Dan para syuhada Islam pada masa Rasul dan pada masa khalifah-khalifah setelah beliau, adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh umat manusia atas ni`mat Islam dan peradabannya yang abadi.
Demikianlah, kita sebagai generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangakaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generas-generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelum kita. Apakah generasi kita saat ini menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita berakhlak seperti ini, yang telah diperintahkan oleh syari`at Allah dan aturan-aturan akhlak?
Sebenarnya, kehidupan yang kita jalani saat ini hampir telah menghapus sisa-sisa akhlak manusiawi yang indah ini. Kemanapun Anda berjalan dan di manapun Anda perhatikan sisii-sisi kehidupan sosial kita saat ini, niscaya Anda akan menemukan egoisme yang telah mengalahkan segala hal. Anda dapati egoisme seorang Bapak yang menguasainya dalam hubungannya dengan anak-anaknya, egoisme suami/isteri yang menguasainya dalam hubungannya dengan isteri/suaminya, egoisme pemimpin yang menguasainya dalam hubungannya dengan masyarakat yang ia pimpin, egoisme orang-orang kaya dan orang berpunya yang amat tampak dalam sikap mereka terhadap orang-orang miskin, para pekerja dan para petani.
Egoisme telah menguasai seluruh elemen bangsa. Kalangan pedagang hanya mementingkan keuntungan perdagangannya, kalangan petani hanya mementingkan p ertaniannya, dan kalangan pegawai pemerintah hanya mementingkan pekerjaannya; egoisme inilah yang telah mencabut rasa percaya satu sama lain di antara masyarakat, yang memutuskan ikatan kasih sayang antar anggota keluarga, dan melemahkan ikatan kemanusiaan antar manusia. Sehingga seorang tetangga menjauh dengan tetangganya, dan seorang sahabat menghindar dari sahabatnnya, pada saat kita sedang amat membutuhkan kerjasama untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan problem kehidupan. Namun demikian, dalam masyarakat kita masih ada sisa-sisa sipat mementingkan orang lain yang memberikan harapan akan lenyapnya egoisme ini dalam masyarakat kita.
Yaitu mereka yang telah menyerahkan jiwa mereka untuk menjadi syahid dalam membebaskan Palestina, mereka yang telah mengorbankan arwah mereka dalam perjuangan kemerdekaan negeri kita, mereka yang telah membantu lembaga-lembaga sosial dengan dana dan usaha mereka, dam mereka yang menyediakan diri mereka sebagai pembawa obor reformasi masyarakat saat masyarakat berada dalam kealpaan mereka. Mereka itu adalah pionir-pionir pembawa semangat pengorbanan dan sipat mementingkan orang lain. Kita berharap semoga bilangan mereka itu terus bertambah secara kualitas dan kuantitas dengan berjalannya waktu.
No comments:
Post a Comment
SAMPAIKANLAH KEBAIKAN, MOGA BERMANFAAT